Oleh: Icuk Sugiarto
HALO SULAWESI– Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan sistem Pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Pasalnya, keputusan tersebut merupakan suatu langkah bijaksana.
Sebab, keputusan ini telah menjawab ekspektasi mayoritas warga Negara Indonesia.
Penolakan MK terhadap permohonan pengujian Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dimana, pemohon mengujikkan Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf B, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu terhadap UUD 1945. Inti dari pemohon, mereka menghendaki sistem Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
Sebab, kesimpulan mereka bahwa proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
Meski demikian, sistem Pemilu, baik itu proporsional terbuka maupun proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing.
Antarannya, kelebihan yang umumnya untuk sistem proporsional dengan daftar terbuka yaitu masing – masing calon legislatif (Caleg) termotivasi saling berkompetisi meraih suara terbanyak.
Mereka tidak terpengaruh dengan daftar nomor urut, bahkan intervensi elit/pimpinan partai politik.
Demikian halnya juga soal partisipasi rakyat sebagai pemilih.
Sistem ini membuka ruang bagi pemilih untuk menentukan perwakilannya sesuai dengan kedaulatan masing – masing individu.
Sedangkan kelemahan dari sistem proporsional dengan daftar terbuka yakni, potensi politik uang (money politics) terbuka lebar.
Artinya, sistem ini memaksa calon/caleg harus memiliki modal besar untuk bisa memenangkan kontestasi internal maupun eksternal.
Beda halnya, dengan sistem proporsional tertutup. Sistem ini berbanding terbalik dengan sistem proporsional terbuka soal peluang politik uang.
Dari berbagai literasi dan diskusi, disimpulkan bahwa sistem proporsional tertutup dapat meminimalisir kekuatan finansial dalam kontestasi.
Sementara untuk kelebihan dari sistem ini yakni, sistem ini membuka peluang terpilihnya kader atau aktivis dari partai politik.
Alhasil ke depan, kaderisasi partai politik akan terus membaik dan berkualitas.
Jadi, pada prinsipnya, kedua sistem pemilu tersebut bisa diterapkan di Negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis.
Namun demikian, tidak bisa menafikan bahwa masih banyak persoalan dalam demokrasi electoral kita.
Seperti dibeberkan oleh Sigit Pamungkas dalam bukunya dengan judul Pemilu Perilaku Pemilih dan Kepartaian (2010, hal 3-4).
Sigit menyebutkan setidaknya ada tiga (3) persoalan demokrasi elektoral yaitu: Pertama, secara finansial demokrasi electoral yang kita pilih sangat mahal. Kedua, demokrasi elektoral secara sosial memiliki resiko politik yang tinggi. Dan ketiga, demokrasi electoral berlangsung di tengah kemiskinan rakyat yang tidak kunjung teratasi.
Dari berbagai pandangan miring terhadap demokrasi dan sistem kepemiluan kita hari ini.
Namun harus membenarkan bahwa belum ada sistem terbaik dari demokrasi itu sendiri.
Dan sistem pemilu proporsional terbuka masih pilihan alternatif untuk soal kontestasi sosial politik kekinian. Argumentasi tersebut juga diperkuat oleh pendapat akademik dari Jimly Asshiddiqie, Pakar Tata Negara.
Jimly menyebutkan bahwa untuk situasi dan kondisi saat ini.
Sistem pemilu Indonesia masih relevan dengan sistem proporsional terbuka. Namun tidak menutup kemungkinannya, ke depan bisa kembali beruba menjadi sistem proporsional tertutup. Sebab kata Jimly, proporsional terbuka dikarenakan bahwa sistem kelembagaan partai politik hari ini belum kuat. Selain itu, partai politik masih feodal.
Maksudnya, partai politik masih didominasi atau dikuasai oleh bangsawan/darah biru. Untuk itu, sistem proporsional tertutup belum waktunya. Kecuali kedua hal tersebut sudah teratasi. ***